ETIKA MENCARI NAFKAH
ETIKA
MENCARI NAFKAH
Oleh
Ustadz
Kasrim,A.Md,SE,M.TrU,MM
“Cari yang haram saja susah apalagi cari yang halal!”
Ungkapan di atas seolah telah menjadi legalitas untuk
mencari harta dengan cara-cara yang tak halal. Begitulah sebagian kenyataan
yang terjadi di tengah masyarakat. Khususnya, dalam urusan mencari rezeki,
hanya sedikit yang mau peduli dengan rambu-rambu syari’at.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan
perilaku semacam ini sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِال ُيبَ لاَ
انٌ مَ زَ اسِ ى النَّ لَ عَ نَّ يَتِ ْأيَ لَامٍ رَ حَ نْ مِ مْ َ ألٍ
لاَ حَ ن ْم َِ أالَ مَ ال ْذ َخَ ا أَمَ ُء بِ رْ
مَ ي الْ
“Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak lagi
peduli dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal
ataukah dengan cara yang haram”. [HR Bukhari].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah
menyampaikan ancaman terhadap orang-orang yang memakan harta yang haram. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هِ ى بِ لَوَْاُر أ النَّ تٍ ُسحْ نْ مِ تَ
بَ ن َمٌ حْ لَ ةَ نَّجَ ُل الْ خُ دْ يَ ُه
لاَ نَِّإ
“Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari
harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya”. [HR Ahmad dan Ad Darimi].
Di dalam Al Qur’an, Allah marah terhadap orang-orang Yahudi,
karena sifat mereka yang suka memakan harta haram. Allah berfirman:
سَ تِ حْ لسُّ ِ لونَ ُالكَّ َ أبِ ذِ كَ لِْ لاُعون َمَّ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita
bohong, (lagi) banyak memakan yang haram”. [Al Maidah:42].
Al Qurthubi, dalam tafsirnya menyebutkan, bahwa salah satu
bentuk memakan yang haram adalah menerima suap.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan
agar umatnya mencari harta yang halal. Pasalnya, ada dua pertanyaan yang
terarah berkaitan dengan harta itu, tentang asal harta dan bagaimana
membelanjakannya. Dalam hadits Abu Barzah Al Aslami Radhiyallahu ‘anhu, beliau
bersabda:
ِ فهِ دِ سَ
جَ نْ عَ اهُ وَ نَف َْا أيمَ ِ فهِ ُعُمرِ نْ عَ عٍ بَرْ َ أنْ عَ ل ََأى
ُيسْ تَّ حَ ةِ امَ يَِق الْ م َوْ ي َد ٍبْا عَ م َد َوُل ق َزُ تَ لاَ لْ عِ نْ عَ
ُه وَ ع َض َا و َيم َِفُه و َبَس َتَ اك ْنَ يَْ أنْ مِ هِ ِال مَ نْ عَ هُ وَ لاَ
بْا أَ يمَ هِ مِ يهِ ِ فلَ مِ ا عَ اذَ مَ
“Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari
Kiamat, sampai ia ditanya tentang empat perkara. (Yaitu): tentang umurnya untuk
apa ia habiskan, tentang jasadnya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya
darimana ia mendapatkannya dan kemanakah ia meletakkannya, dan tentang ilmunya,
apakah yang telah ia amalkan”. [HR At Tirmidzi dan Ad Darimi].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan
kepada kita dalam banyak hadits, urgensi mencari rezeki yang halal ini. Dalam
sebuah hadits dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda (artinya): Tidak ada satu pun amalan
yang mendekatkan kalian ke surga, melainkan telah aku perintahkan kalian
kepadanya. Dan tidak ada satu pun amalan yang mendekatkan kalian ke neraka,
melainkan aku telah melarang kalian darinya. Janganlah kalian menganggap rezeki
kalian terhambat. Sesungguhnya, Malaikat Jibril telah mewahyukan ke dalam hati
sanubariku, bahwa tidak ada seorang pun meninggalkan dunia ini, melainkan
setelah sempurna rezekinya. Bertakwalah kamu kepada Allah, wahai sekalian
manusia. Carilah rezeki dengan cara yang baik. Jika ada yang merasa rezekinya
terhambat, maka janganlah ia mencari rezki dengan berbuat maksiat, karena
karunia Allah tidaklah di dapat dengan perbuatan maksiat. [HR Al Hakim dan
selainnya].
Demikian pula hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda:
قَ االِّرزْ وْئُ طِ بْتَسْ تَ لاَ, غ َ ُلبْى يَ تَّ
حَ دُ بْ العَ تَ ُموْ يَ نْ ُه
ل َنَِّإفَ ُه لَ ُھو َقٍ زْ رِ رَ آخِ , بِ لَي الطَّ ِا فوُْلم ِج َْأف َ, امِ رَ الحَ كِ رْ تَ وَ لِ لاَ الحَ ذِ خْ أَ
“Janganlah menganggap rezki
kalian lambat turun. Sesungguhnya, tidak ada seorang pun meninggalkan dunia
ini, melainkan setelah sempurna rezkinya. Carilah rezki dengan cara yang baik
(dengan) mengambil yang halal dan meninggalkan perkara yang
haram”.[1]
Hadits-hadits di atas memerintahkan kita agar memeriksa
setiap rezeki yang telah kita peroleh. Kita harus bersiap diri dengan dua
pertanyaan, darimana harta itu diperoleh dan kemana dibelanjakan? Oleh karena
itu, kita mesti mengambil yang halal dan menyingkirkan yang haram. Bahkan harta
yang mengandung syubhat, hendaknya juga kita jauhi.
Dalam sebuah hadits dari An Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah menyatakan:
نِ مَ فَ اسِ
النَّ نَ مِ يرٌ ثِ كَ ُمُھنَّ لَعْ يَ لاَ اتٌ ھَ بِ تَا ُمشْ ُھمَ نَيْبَ و َِّينٌ
بَ امَ رَ حَ الْ ن َِّإ و َِّينٌ بَ لَ لاَ حَ الْ ن َِّ إعَ قَ وَ اتِ ُبھَ ي الشُّ
ِ فع َقَ و َن ْمَ و َهِ ضِ رْ عِ و َهِ ينِ دِ ِ لأَرَ بْتَ اسْ اتِ ُبھَ ى الش ُّقَ
اتَّ امِ رَ حَ ي الْ ِف
“Sesungguhnya yang halal itu
jelas dan yang haram juga jelas. Diantara keduanya ada perkaraperkara syubhat
yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa yang menjaga
diri dari perkara syubhat, berarti ia telah menyelamatkan agama dan
kehormatannya. Dan barangsiapa terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia akan
terjerumus kepada perkara haram”.
[Muttafaqun ‘alaihi].
Rasulullah Shalallalhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat
telah mencontohkan prinsip penting tersebut secara langsung. Betapa ketatnya
mereka dalam memperhatikan urusan rezeki ini. Mereka selalu memastikan dengan
sungguh-sungguh, apakah rezeki yang mereka peroleh itu halal lagi baik, ataukah
haram.
Dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik Radhiayallahu ‘anhu
diceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat kurma di
jalan. Maka Beliau bersabda:
اھَ تُ لْكَ َ لأَ ةٍ قَ دَ صَ نْ مِ ونَ كُ تَ نْ َ ألا َوْلَ
“Andaikata
saya tidak khawatir kurma itu dari harta sedekah, niscaya saya makan”.
[Muttafaqun
‘alaihi]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari
Rasulullah, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaiohi wa sallam bersabda:
ِى فلَ عَ ةً
طَ ِاق سَ ةَ رَ مْ الت َّدُ جِ
َأي فَ ِلھْ َى ألَُِب إِلقَ نْي لأََ نِِّاإيھ َِقلُْأ ف َةً قَ دَ صَ ونَ كُ ت َن ْى أَش َخ ْ أَمَّ ا ثُ ھَ َلك ُا
لآِ ُعھَ فَ رْ َأي فَ اشِ رَ
“Saat aku pulang ke rumah, aku dapati sebutir kurma jatuh di
atas tempat tidurku. Kemudian kurma itu kuambil untuk kumakan. Namun aku
khawatir kurma itu adalah kurma sedekah (zakat), maka aku pun membuangnya.[2]
Masih dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: Al Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhum mengambil
sebiji kurma dari harta zakat, lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Cih, cih!” [3] yaitu mengeluarkan dan
membuangnya.
Kemudian Beliau berkata:
ةَ قَ دَ ُل
الصَّ كُ ْأ نَ ا لاَ نَّ أَتَ
رْ عَ ا شَ مَ َأ
“Tidakkah engkau tahu bahwa kita tidak boleh memakan harta zakat?”. [4]
Diriwayatkan dari Abul Hauraa’,
bahwa ia bertanya kepada Al Hasan Radhiyallahu ‘anhuma : “Adakah sesuatu yang
engkau ingat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Al Hasan
menjawab,”Aku masih ingat, (yaitu) ketika aku mengambil sebiji kurma dari harta
zakat, lalu aku masukkan ke dalam mulutku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengeluarkan kurma itu beserta saripatinya, lalu mengembalikannya ke
tempat semula. Ada yang berkata: ‘Wahai,
Rasulullah.
Tidaklah mengapa kurma itu dimakan oleh bocah kecil ini?’ Rasulullah n berkata:
‘Sesungguhnya, keluarga Muhammad tidak halal memakan harta
zakat’.”
Ini merupakan sikap wara’, menghindari sesuatu yang masih
meragukan statusnya. Dan coba lihat, bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mendidik cucu Beliau, Al Hasan agar tidak memakan dari harta yang
haram. Begitu pula para sahabat.
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha bercerita, bahwa Abu Bakar
memiliki budak yang ditugaskan harus membawa bekal untuknya setiap hari. Dan
Abu Bakar selalu makan dari bekal itu. Pada suatu hari, budak itu datang
membawa makanan. Maka Abu Bakar menyantapnya. Kemudian budak itu bertanya:
“Tahukah tuan, darimana makanan itu?” Abu Bakar balik bertanya,”Mengapa?” Budak
itu berkata,”Pada masa jahiliyah dahulu, aku pernah berlagak menjadi dukun
untuk mengobati seseorang, padahal aku tidak mengerti perdukunan, hanya
semata-mata untuk menipunya. Lalu ia bertemu lagi denganku dan memberiku
makanan yang engkau makan itu,” Maka spontan Abu Bakar memasukkan jarinya ke
dalam mulut dan mengorek-ngoreknya sehingga memuntahkan semua isi perutnya”.
[HR Bukhari].
Syariat juga memperhatikan hal-hal semacam ini, yaitu
anjuran meninggalkan sesuatu yang masih diragukan status kehalalannya demi
menjaga diri dari perkara haram.
Diriwayatkan dari ‘Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku:
كْ رَ دْ َ
أنْ ِإبحُه، وَ فاذْ ًايّ ُه حَ تَكْ رَ دَْ فأكَ يْلَ عَ كَ سَ أم ْ، فإنْ هِ يْلَ عَ H ِ ّ مَ اسْ رِ
كُ اذْ ف َك َبَلْت ك َلْس َرْ َا أذَ ِ إكَ
بِ لْ كَ عَ مَ ت َد ْجَ و َإن ُْه، وَ لْك ُُه
ف َنْ م ِل ْكُ ْأ يَ مْ لَ وَ لَ تَ
قَ دْ تُه ق َ ًبالْكَ
ُه لَتَُيُھما قَ َي
أرِ دْ تَ َ لاك َنَِّإ، فَ لْ تأكُ َلا
فَ لَ تَد قَ قَ رهُ وَ يْغَ
“Apabila
kamu lepaskan anjingmu, maka ucapkanlah bismillah. Jika ia menangkap seekor
hewan buruan yang masih hidup untukmu, maka sembelihlah hewan tersebut. Apabila
kamu dapati hewan itu sudah mati, sementara anjing itu tidak memakannya, maka
silahkan makan. Tetapi apabila kamu dapati ada anjing lain yang ikut membunuh
hewan buruan itu, maka jangan kamu makan, karena kamu tidak tahu anjing mana
yang telah membunuh hewan tersebut”. [Muttafaqun ‘alaihi].
Sebab, ada kemungkinan anjing lain yang ikut membunuh hewan
tersebut tidak dilepas dengan mengucapkan bismillah sehingga tidak halal
dimakan.
PRASYARAT
MENCARI NAFKAH
Seseorang yang akan mencari
nafkah, baik sebagai pedagang, pekerja upahan, pegawai atau profesi lainnya,
hendaklah memperhatikan dua perkara penting berikut ini:
Pertama :
Ilmu.
Berilmu sebelum berkata dan
berbuat! Ini adalah prinsip yang sudah disepakati bersama. Namun dalam
prakteknya, prinsip ini hanya tinggal prinsip. Berapa banyak orang-orang yang
menganut prinsip ini, justru melanggarnya, apalagi orang-orang yang tidak
mengetahuinya.
Demikian pula dalam masalah jual beli. Seseorang hendaklah
memahami apa saja yang wajib dia ketahui berkaitan dengan amalan yang akan dia
kerjakan.
Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu pernah melarang para
pedagang (pelaku pasar) yang tidak mengetahui hukum-hukum jual beli untuk
memasuki pasar. Minimal, ia harus mengerti hal-hal penting yang wajib
diketahuinya. Sebagai contoh, sebagai pedagang, ia harus mengetahui waktuwaktu
larangan untuk berjual beli. Misalnya, pada waktu akan ditunaikan shalat
Jum’at. Dasarnya ialah firman Allah:
ىلَِا إوْعَ اسْ فَ ةِ ُجُمعَ الْ مِ وْن يَ مِ ةِ لاَ لصَّ ِي لودِ ا نُ ذَ ِوا إنُ آمَ ينَ ذِ َّا الھ َيُّا
أَيَ ُمون َ لَعْ
تَ مْ نتُ ن ك ُِ إم ْك َُّ لر ٌيْ
خ َم ْك ُِل ذ َع َيْبَُروا الْ ذَ وَ H ِ َّ
رِ كْ ذِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui”. [Al Jumu’ah: 9].
Demikian pula, ia mesti tahu tempat-tempat larangan untuk
berjual beli, masjid misalnya. Dasarnya ialah hadits riwayat ‘Abdullah bin
‘Amru Radhiyallahu ‘anhu , bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm
melarang berjual beli di dalam masjid. [HR Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa-i
dan Ibnu Majah].
Seorang pedagang juga harus tahu barang apa saja yang
dilarang diperjual-belikan. Misalnya, minuman keras, bangkai, anjing, babi dan
lainnya. Dasarnya ialah hadits Abu Hurairah z bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
ُه نَمَ ثَ وَ يرَ زِ نْخِ الْ م َرَّ حَ ا وَ ھَ نَمَ
ثَ وَ ةَ تَيْمَ الْ م َرَّ حَ ا وَ ھَ نَمَ ثَ وَ رَ مْ خَ الْ مَ رَّ ح َلَّ جَ وَ
زَّ عَ H َ َّ نَّ ِإ
“Sesungguhnya
Allah telah mengharamkan khamr dan mengharamkan hasil jual beli khamr,
mengharamkan bangkai dan hasil jual beli bangkai, dan mengharamkan babi serta
mengharamkan hasil jual beli babi”. [5]
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
امٌ رَ حَ رِ
مْ ُن الخَ مَ ثَ, امٌ رَ حَ ِيغ ُْر البَ ھْ مَ و َ, امٌ رَ حَ بِ
لُْن الكَ مَ ثَوَ , امٌ رَ ح َةُ
بَوْ الكُ وَ , سِ يْ الم َُر وَ مْ
الخَ ا وَ ابً رَ تُ هِ يْدَ
ي َلأ َمْ َأُه فَ نَمَ ُس ثَ مِ تَلْ يَ بِ لُْب الكَ احِ صَ اكَ
تَ أَن ِْإُر وَ امٌ رَ حَ رٍ كِ ُمسْ لُّ كُ وَ
“Hasil penjualan khamr haram, hasil melacur haram, hasil
penjualan anjing haram, main dadu haram. Apabila pemilik anjing datang kepadamu
meminta hasil penjualan anjingnya, maka sesungguhnya ia telah memenuhi kedua
tangannya dengan tanah. Khamr, judi dan setiap minuman yang memabukkan adalah
haram”.[6]
Seorang pedagang juga dilarang berlaku curang dalam
timbangan dan takaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ينَ ِففِّ ُمطَ لِّْ للٌ يْوَ {1} ى النَّ لَ عَ واْ ُالتَا اكْ ذَ ِ إينَ ذِ َّ الونَ ُفوْتَسْ يَ اس ِ{2} ُرونَ سِ
ُيخ ْوُھم ْن ُزَ و وَّ َ
أوُھمْ ُالا كَ ذَ ِإوَ
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu)
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta
dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi”. [Muthaffifiin:1-3].
Semua itu hanya dapat diketahui dengan ilmu. Dan masih banyak
lagi perkara lain yang berkaitan dengan larangan-larangan dalam jual beli yang
harus diketahui seorang pedagang, baik menyangkut waktu, tempat, barang, etika
dan tata caranya.
Sebagai pegawai, seseorang juga harus mengetahui apa saja
yang dilarang berkaitan dengan pekerjaannya. Misalnya, seorang pegawai dilarang
mengambil hadiah saat tugas atau dinas, karena hal itu termasuk ghulul (komisi)
yang diharamkan. Diriwayatkan dari Abu Humaid As Saa’idi Radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Rasulullah berkata:
لٌ وُْلال غُ ا الُعمَّ ايَ دَ ھَ
“Hadiah bagi para amil (pegawai) termasuk ghulul! [7]
[Hadits shahih. Telah dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albaani
dalam Irwaaul Ghalil 2622].
Tentu saja, bila seseorang tidak mengetahui hal-hal tersebut
ia bisa terjatuh ke dalam perkara haram.
Kedua :
Takwa.
Takwa adalah sebaik-baik bekal.
Pedagang, pegawai atau apapun profesinya harus memiliki bekal takwa. Secara
umum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dan
mengancam para pedagang dengan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. اُر جَّ ُ الفاُر ُھمُ جَّ التُّ
“Para pedagang itu kebanyakannya orang-orang fajir”. [8]
Pedagang yang fajir, yaitu pedagang yang tidak mengindahkan
rambu-rambu syariat. Sehingga ia jatuh ke dalam larangan-larangan, seperti
bersumpah palsu untuk melariskan dagangan, menipu, khianat, curang dan
lain-lain.
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm
memuji pedagang yang jujur lagi bertakwa. Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu
‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اءِ دَ ھَ الشُّ وَ نَ يِْقيْالِّصدِّ وَ نَ ِّييْ بِ النَّ عَ ُن مَ يْمِ
َ الأقُ وْدُ ُر الصَّ اجِ التَّ
“Pedagang
yang jujur lagi terpercaya akan bersama para nabi, kaum shiddiq dan para
syuhada”.
[HR At Tirmidzi, Al Hakim, dan Ad Darimi.
JADI,
KEJUJURAN DAN AMANAH MERUPAKAN BUAH DARI TAKWA
Demikian pula pegawai, harus
berbekal takwa. Maraknya kasus-kasus korupsi, suap-menyuap, kecurangan,
merupakan akibat hilangnya ketakwaan. Sehingga membuat seseorang menjadi gelap
mata saat melihat gemerlap dunia.
Sebagian orang ada yang berprinsip, carilah harta
sebanyak-banyaknya meski dengan cara-cara yang haram, seperti korupsi, suap,
penipuan, kecurangan dan lainnya. Nanti setelah terkumpul harta yang banyak,
baru berbuat baik, bersedekah dan lain sebagainya. Prinsip dan anggapan seperti
ini jelas salah. Sebab Allah Maha Baik dan tidak menerima, kecuali yang
baik-baik.
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هِ يْلَُرهُ
عَ صْ ِ إانَ كَ وَ ر ٌجْ أَهِ يُِْه ف لَ نْ كُ يَ مْ لَ هِ بِ قَ دَّ صَ
ت َم َّا ث ُام ًرَ حَ ًالا مَ عَ مَ جَ نْ مَ
“Barangsiapa mengumpulkan harta haram kemudian
menyedekahkannya, maka ia tidak memperoleh pahala darinya dan dosanya
terbebankan pada dirinya”.[9]
Sedekah dan
kebaikannya itu tidak bernilai sedikit pun di sisi Allah. Dia tetap terbebani
dosa karena telah mengumpulkan harta melalui cara yang haram. Jadi, anggapan
seperti di atas jelas keliru.
Demikianlah dua perkara penting yang harus dimiliki, yaitu
ilmu dan ketakwaan. Jadilah pedagang atau pegawai yang berilmu dan bertakwa,
sebab ilmu dan takwa itu merupakan kunci kesuksesan dalam mencari rezeki yang
halal lagi baik.
[Disalin dari
majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
761016]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih, diriwayatkan
oleh Ibnu Hibban (3239 dan 3241), Al Hakim (II/4), Al Baihaqi (V/264 dan 265),
Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (III/156-157) dari jalur Muhammad bin Al Munkadir
dari Jabir. [2]. Hadits riwayat Al Bukhaari (2431) dan Muslim (1070), ada
penyerta lain dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.
[3]. Kata-kata untuk menegur
anak-anak dari kotoran. Maksudnya, buang dan keluarkanlah benda itu!
[4]. HR
Bukhari (1491) dan Muslim (1069).
[5]. Hadits
shahih, diriwayatkan Abu Dawud (3485) dan yang lainnya.
[6]. Hadits shahih, diriwayatkan
oleh Ath Thabraani dalam Al Kabir (12601) secara lengkap. Diriwayatkan juga
oleh Abu Dawud (3482), Ahmad (I/274-278 dan 289-350) dan Ath Thayaalisi (2755)
secara terpisah.
[7]. Ghulul,
artinya mengambil harta yang bukan haknya secara khianat.
[8].
Dishahihkan oleh Al Albaani dalam Silsilah Ahaadiits Ash Shahihah, jilid
pertama.
[9]. Hadits
shahih lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (3367) dari jalur Darraj Abu
Samah dari
Ibnu Hujairah
dari Abu Hurairah.
#ETIKA MENCARI NAFKAH#nafkah#halal#etika#adab#ilmi#nafkah
Komentar
Posting Komentar